Topikinformasi.com– Jakarta — Lahan gambut memiliki potensi besar untuk kegiatan budidaya pertanian dan kehutanan. Meski demikian, pemanfaatan gambut harus penuh kehati-hatian agar tidak menyebabkan degradasi dan mengakibatkan terlepasnya emisi gas rumah kaca.
Demikian terungkap pada the Internasional Seminar on Tropical Peatland “Peatlands for Environment, Food, Fiber, Bio-energy and People” yang diselenggarakan Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI).
Seminar menghadirkan 11 pembicara undangan dari Indonesia, Malaysia, Jepang, India, Jerman, Australia dan Inggris. Selain itu ada juga 76 pembicara dari Indonesia dan luar negeri yang akan memaparkan hasil penelitiannya.
Pakar ilmu tanah Universitas Kyoto, Jepang Profesor Shinya Funakawa mengungkapkan hasil penelitiannya yang membuktikan tanah gambut tidaklah ‘semiskin’ yang dibayangkan.
“Tanah gambut tidak selalu miskin unsur hara jika dibandingkan dengan tanah mineral,” kata dia pada seminar hari kedua, Jumat 22 Oktober 2021.
Profesor Shinya memaparkan hasil penelitiannya dengan sampel dari sejumlah plot di 4 lokasi. Lokasi tersebut adalah di Hutan Lindung Naman, Sarawak, Malaysia; kebun kelapa sawit dan lahan yang berdekatan dengan hutan sekunder di Kalimantan Barat; kebun kelapa sawit dan lahan yang berdekatan dengan hutan sekunder di Riau, dan hutan alam primer dengan berbagai material induk tanah di Kalimantan Timur.
Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan sampel tanah pada kedalaman 30-50 cm selama lebih dari satu kali dalam sebulan selama satu tahun. Sampel kemudian dianalisis setelah dilakukan filtrasi.
Hasilnya, tingkat keasaman (pH) gambut memang lebih rendah daripada tanah mineral. Namun kandungan unsur hara seperti Cl, SO4, K, Ca Mg, dan N menunjukkan tidak lebih miskin dibanding tanah mineral.
Penelitian tersebut menunjukkan potensi lahan gambut untuk kegiatan budidaya. Apalagi lahan gambut umumnya memiliki topografi datar dan kompak pada satu hamparan.
Pakar gambut yang kini bermukim di Australia, Profesor Bostang Radjagukguk menekankan pentingnya penerapan praktik terbaik dalam pengelolaan lahan gambut.
Indonesia, kata Bostang, bisa belajar dari pengalaman. Kasus seperti proyek lahan gambut sejuta hektare, kejadian kebakaran hutan dan lahan, memberi pelajaraan bahwa pengeringan skala besar akan memicu degradasi dan kerusakan lahan gambut.
“Indonesia menyadari pentingnya pengelolaan gambut kini sudah memiliki Badan Restorasi Gambut dan Mangrove,” kata Bostang.
Sementara itu pakar gambut dari Asia Pasific Resources International Limited (APRIL) Group Chandra Shekhar Deshmukh, PhD memaparkan lahan gambut secara alami melepaskan gas rumah kaca seperti karbondioksida, metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O).
“Namun kekeringan ekstrim seperti yang diakibatkan oleh El Nino dan degradasi gambut meningkatkan pelepasan emisi GRK,” kata dia.
Fakta tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan Chandra Shekhar dan timnya di lahan gambut pesisir Sumatera. Penelitian dilakukan mulai pertengahan tahun 2017 sampai pertengahan tahun 2020 untuk mengukur emisi CO2 dan CH4 dan pada tahun 2019-2020 untuk mengukur emisi N2O.
Penelitian neraca pelepasan dan serapan emisi tersebut dilakukan dengan metode Eddy Covariance.
Menurut Chandra Shekhar, meski lahan gambut secara alami melepaskan emisi GRK, namun lahan gambut yang terkelola menawarkan lebih banyak solusi untuk pengendalian emisi GRK.
(fri)
Komentar