Catatan Pinggir:
Bahtiar Parenrengi
Topikinformasi.com – Bone Agustus, bulan yang ditandai dengan beragam kegiatan. Bendera berkibar dimana-mana. Pun umbul-umbul merah putih terpasang dimana-mana.
Terpasang dimana-mana dan ada dimana-mana. Begitulah bendera merah putih dikibarkan. Entah dirumah, dipertokoan, diperkantoran dipinggir jalan atau dilapangan.
Bulan Agustus memang sudah menjadi bulan wajib untuk bergembira. Bergembira sambil mengaca diri, bahwa kita telah merdeka. Negara kita telah merdeka. Merdeka dari keterjajahan dari negara lain. Kita tak lagi angkat senjata. Tidak ada lagi bambu runcing, pun alat tempur lainnya.
Tidak ada lagi dentuman meriam, bedil dan yang lainnya. Tidak ada lagi pekikan Allahu Akbar. Tidak ada lagi.
***
Momentum Agustusan selalu menjadi ajang jual bendera. Hampir disetiap sudut kota nampak terpajang bendera yang siap jual. Tinggal memilih, ukuran besar, sedang maupun ukuran kecil.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bendera adalah sepotong kain atau kertas segi empat atau segitiga (diikatkan pada ujung tongkat, tiang, dan sebagainya) dipergunakan sebagai lambang negara, perkumpulan, badan, dan sebagainya atau sebagai tanda; panji-panji; tunggul:sering dikibarkan di tiang, umumnya digunakan secara simbolis untuk memberikan sinyal atau identifikasi. Hal ini sering juga digunakan untuk melambangkan suatu negara untuk menunjukkan kedaulatannya.
Bendera Merah-Putih, kita telah memilikinya. Kita telah mengibarkannya dengan waktu yang cukup lama. Kini telah memasuki 76 tahun. Bendera yang memiliki dua warna tersebut, mengandung makna, Merah berarti Berani dan Putih berarti Suci.
Warna merah juga melambangkan sebagai warna dasar tubuh manusia, yang dialiri darah sejak lahir. Sedangkan warna putih memiliki makna kesucian, yang menggambarkan warna roh manusia yang bersih.
Makna simbolik, bahwa kita yang hidup di Indonesia adalah manusia pemberani yang penuh kesucian. Manusia yang lahir dengan darah yang bersih dan suci. Olehnya, untuk mempertahankan diri kita tak gentar menghadapi musuh. Menghadapi penjajah walau hanya berbekal bambu runcing.
***
Kini, Republik ini memasuki usia kemerdekaan yang ke 76 tahun. Kita telah merasakan jeri payah para pendahulu kita. Kita telah menikmati perjuangan para leluhur kita. Para pejuang kita, yang telah syahid di medan laga.
Terkadang kita abai. Ogah untuk bersyukur. Terkadang kita abai untuk memaknai perjuangan itu. Kita abai mensyukuri kemerdekaan itu. Kita abai, karena membiarkan rumah kita tak dikibari dengan bendera merah putih.
Entah kita abai ataukah sebuah bentuk protes. Entahlah. Tapi yang kita lihat diawal bulan Agustus ini, bendera putih setiap saat terpasang. Bendera pertanda kematian. Entah meninggal dengan terjangkit virus Covid 19 atau penyakit lainnya.
Bendera putih simbol menyerah pun terpasang di lapak pedagang di kawasan Puncak, Bogor, Kamis 5 Agustus 2021. Bahkan sekitar 300 pedagang mengibarkan bendera putih yang dipasang di tiap lapak miliknya.
Pemasangan bendera putih itu sebagai simbol menyerah dan protes terkait menurunnya penghasilan mereka. Menyerah karena imbas berkurangnya wisatawan pada masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4.
Bendera, mari menghibur diri. Mari meresapi Ciptaan Ibu Sud, “Berdera merah putih
Bendera tanah airku
Gagah dan jernih tampak warnamu
Berkibarlah di langit yang biru
Bendera merah putih
Bendera bangsaku
Berdera merah putih
Pelambang brani dan suci
Siap selalu kami berbakti
Untuk bangsa dan ibu pertiwi
Berdera merah putih
Trimalah salamku”. (*)
Komentar