oleh

Mappalisu Sumange’ dan Kelakar Medsos Catatan Pinggir: Bahtiar Parenrengi

-Edukasi-137 views

Topikinformasi.com – Bone Sebulan terakhir, kita disuguhi kabar tentang film pendek berjudul Mappalisu Sumange. Beragam kabar dari sahabat maupun netizen tentang film ini.

Bahkan beragam komentar serta foto saat nonton pun beredar deras. Caption beragam terus mengalir, membuktikan bahwa film produk lokal ini cukup nyantol dihati penonton.

Saya memang belum sempat nonton. Selalu saja tak sempat ketika beberapa sahabat menawari nonton bareng. Pun belum sempat mengagendakan waktu untuk nonton sendiri, seperti saat berumur belasan tahun.

Saya memang tak doyan lagi nonton di bioskop selepas putih abu-abu. Kurang tertarik lagi semenjak semua bioskop di kota ini tak beroperasi lagi. Semua tutup. Entah apa penyebabnya.

Masih teringat, saat masih umur belasan tahun. Ketika matahari mulai terik, nampak sebuah mobil membawa poster film membacakan informasi. Mobil tua dilengkapi pengeras suara itu, membacakan info pemutaran film.

Film-film Rhoma Irama, Rano Karno, Adven bangun, Herman Pelani, Lydia Kandou, Yessi Gusman dan beberapa pemeran Film Indonesia lainnya selalu meraup penonton yang banyak.

Film India dan kungfu tak ketinggalan menyita perhatian penonton. Film Tinombala, juga menjadi sebuah film yang ditonton bareng dengan teman-teman SMP di Bioskop Morina. Berdesakan jadinya.

Selain Morina (Istana)berdiri pula Bioskop baru dengan nama Bioskop Watampone. Keberadaannya menjadi kompetitor baru dalam dunia bisnis perfilman. Keberadaannya cukup menjadi kebanggaan pada zamannya. Tak ada aksi protes saat berdirinya.

             ***

Tertidur dalam bioskop, suatu hal yang lumrah. Sering terjadi saat mata tak bisa diajak kompromi. Ngorok jadinya walau nyamuk menjadi pelengkap.

Baca Juga:  Sosialisasikan Moderasi Beragama, Penyuluh Agama KUA Palakka Gandeng Tripika

Tertidur dan ini menjadi penyakit saat nonton film berdurasi panjang. Hampir disetiap nonton film India, mata ini tak bisa berdamai. Lelap dalam goyangan India. Lelap saat suara musik kian mendayu-dayu. Film telah menjelma menjadi musik nina bobo yang syahdu.

Itu dulu, ketika bioskop sebagai hiburan yang bergengsi. Bioskop sebagai sarana tontonan yang bisa membawa emosi penonton menjadi baper.

Bioskop adalah pilihan. Karena saat itu, belum ada televisi yang bisa melayani penonton 24 jam. Belum ada tempat karaokean yang sejuk disertai makanan kecil.

Namun kesemuanya telah bergeser. Dua bioskop tak berfungsi lagi. Ditahun delapan puluhan, kedua bioskop itu tutup.
Mungkin bangkrut ataukah daya beli tiket semakin menurun (banyak jatah preman). Bisa juga penonton kehilangan gairah karena ada televisi dan Video CD yang bisa diputar dirumah.

Entahlah. Bioskop memang telah mengalami masa-masa suram ketika televisi mulai bermunculan. Televisi telah menyuguhkan film berkualitas tanpa harus berdesakan membeli tiket.

Untungnya, Bioskop kembali hadir di Bone. Dinamika keberadaannya cukup menyita waktu. Menyita perhatian karena selalu di protes. Bahkan di demo saat launching.

Belum lepas tantangan itu, biokop pun harus ditutup karena aturan protokoler kesehatan harus dijalankan saat Corona kian ganas. Virus Covid 19 membuyarkan berbagai harapan. Fakum hingga setahun.

Hingga pada akhirnya, bioskop kembali dibuka. Namun penonton harus diatur sedemikian rupa supaya terhindar dari virus yang telah banyak memakan korban.

Baca Juga:  Kartini Masa Kini Terseret Arus Modernitas

Seiring terbukanya bioskop, muncullah sebuah karya anak lokal, Mappalisu Sumange. Karya yang banyak diperbincangkan dalam dunia Maya, juga didunia nyata. Gelombang penonton menandakan, film tersebut bisa dibilang sukses.

             ***

Secara sederhana, Mappalisu Sumange bisa diartikan mengembalikan semangat. Ada semangat yang hilang. Ada semangat yang tercecer.

Dalam Kamus Lengkap Bahasa Bugis, yang disusun oleh Asmat Riady Lamallongeng dijelaskan bahwa Lisu berarti pulang. Memulangkan/ mengembalikan. Sumangek berarti semangat, hati nurani dan bathin.

Selain itu, dapat pula berarti “mengembalikan semangat atau hati nurani”. Mengembalikan memiliki konotasi, ada sesuatu yang pernah hilang. Ada sesuatu yang pergi. Pernah lenyap (adat). Untuk itulah, dibutuhkan upaya untuk mengembalikannya.

Tak heran, pesan adat begitu kuat dalam film ini. Seperti kata sahabat saya Haryudi Rahman melalui FB, bahwa Film ini mengandung pesan-pesan. Apa itu sumange’ dalam film ini? Salah satu adegan favorit saya dalam film ini adalah saat anaknya (Sumange’) membasuh muka setelah makan. Menurut saya ini adalah kritik yang begitu sopan dikemas dengan agak lucu. Apakah Sumange’ sebagai manusia ? Atau Sumange’ sebagai pesan-pesan di dialog?

Walau lemah dalam pengolahan musik film/ soundnya, namun Yudi memberi catatan penting, saya begitu mengapresiasi film Mappalisu Sumange’ sebagai film yang berbasis nilai-nilai lokal dan syarat akan etika.

Film ini pun menjadi autokritik terhadap situasi kebudayaan akhir-akhir ini di Kabupaten Bone. Semangat berkebudayaan hanya sampai pada “opening” saja yang terasa sangat berjarak dengan masyarakatnya sendiri.

Baca Juga:  Jaga Keselamatan, Satlantas Polres Bone Tegur Pengendara Dibawah Umur

Sebuah film memang tak akan bisa memuaskan semua penontonnya. Tapi paling tidak, dapat menyuguhkan hiburan dan pesan. Ada nilai edukasi. Nilai ini harus diperhitungkan karena pendidikan karakter bisa dibangun melalui sebuah tontonan.

Namun demikian, film juga harus tetap memperhitungkan nilai pasar. Nilai ekonomi harus dihitung secara akurat, agar modal bisa tertutupi. Tidak rugi. Karena setiap investasi memiliki risiko dengan tingkat risiko berbeda-beda.

Hadirnya film lokal ini setidaknya telah menginsfirasi banyak kalangan. Ada kesadaran baru untuk mempertahankan nilai-nilai adat Bugis. Demikian pula munculnya kelakar medsos yang cukup menggelitik, seperti Mappalisu Modala, Mappalisu Inreng, Lari Sumange’, Kuru Sumange’ dan yang lainnya.

Dunia kelakar dunia ketawa. Dunia dimana kita diajak tersenyum atau tertawa lepas. Seolah tanpa beban ataupun tanggung jawab.

Tak hanya didunia nyata, kelakar juga selalu hadir dalam dunia Maya. Kehadirannya cukup menghibur, pun kadang pula mengusik. Karena tak lagi menjadi hiburan, akan tetapi menjadi bahan olokan yang bisa melukai perasaan.

Semoga saja suguhan film Mappalisu Sumange’, menjadi sebuah hiburan yang mendidik. Mengembalikan semangat tea lara’, semangat sipakatau, semangat saling menghargai, siamasei dan semangat lainnya.

Kehadirannya juga telah menginsfirasi kita untuk tetap berkarya dengan baik. Seperti menginsfirasi lahirnya sebuah desain baju, Mappalisu Sumange’ dan Mappalisu Modala. Selamat Hari Pendidikan Nasional. (*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *