Topikinformasi.com – Makassar R.A Kartini, sosok perempuan emansipatoris berdarah Jepara yang hadir mempelopori kesetaraan derajat antara perempuan dan laki-laki. Himpitan patriarki dan budaya pingit yang menjeratnya tidak menyulutkan semangat kartini untuk belajar dan berpengetahuan. Sadar akan keterbatasan akses perempuan terhadap pendidikan mendorong Kartini mendirikan sekolah untuk perempuan pada tahun 1912.
Kartini datang menyulut api semangat belajar dan berpengetahuan bagi perempuan. Bak mata air yang melegakan dahaga kekeringan intelektual di tubuh si puan. Beliau wafat di usianya yg ke-25 tahun, meninggalkan kumpulan-kumpulan tulisan dan korespondensi yang kemudian diterbitkan menjadi buku “Habis gelap terbitlah terang”.
Terang yang menjadi harapan Kartini ialah terang yang akan terus menyala sampai pada generasi perempuan masa kini. Setelah sekian gencatan senjata ia memerangi ketertinggalan perempuan. Membangun sekolah agar kiranya eksistensi perempuan-perempuan setelahnya tidak lenyap digilas zaman.
Tapi sayang modernisasi dewasa ini menyeret perempuan jatuh dalam jurang kemunduran. Arus pasar dunia begitu deras menjadikan perempuan sebagai objek eksploitasi yang melanggengkan keberlangsungan pasar. Tidak tanggung pasar mode mencekoki sendi-sendi hidup perempuan. Fashion yang mentereng, rupa yang glowing, handphone yang berganti mengikuti rilis versi terbaru, hadir sebagai standarisasi cantik dan keren. Kemajuan teknologi telpon pintar, menjadikan segudang pertanyaan terjawab hanya dengan sebatas enter tanpa perlu bersusah-susah belajar. Semua itu adalah dogma pembodohan demi keberlangsungan produksi dan distribusi si kapital.
Kemapanan teknologi pula yang menyebabkan menurunnya atensi belajar dan membaca, tidak heran jika negara kita terbelakang dalam hal literasi. Pegiat bisnis IT tentunya tidak diam melihat betapa labil kita dikendalikan oleh kemajuan teknologi dan zaman. Akhirnya muncullah berbagai aplikasi game, tiktok, dan sejenisnya yang unfaedah. Sibuk bertiktok ria bisa jadi mengalihkan perhatian dan kepekaan kita membaca situasi dan kondisi sosial di sekitar. Minimnya keteguhan orientasi dan tidak adanya cita-cita kemenangan untuk menjajaki zaman di masa depan menjadikan kita “perempuan” begitu mudah digoyang oleh arus globalisasi.
Mayoritas perempuan hari ini abai akan pentingnya pengetahuan yang berkemajuan. Peran serta di rana sosial politik tidak begitu signifikan, contohnya saja di parlemen kuota untuk legislator perempuan belum bisa terpenuhi. Kita tidak bisa mangkir bahwa perjuangan hak perempuan untuk ruang hidup yang aman dan layak tidak cukup hanya dengan gerakan grass roots tapi harus ditopang dengan kekuatan politik elit.
Tidakkah sederet peristiwa memilukan sejenis kekerasan seksual, pelecehan, kekerasan dalam rumah tangga dan kekangan patriarki membuat hati dan pikiran kita terbuka untuk memenuhi ruang-ruang vital yang mendukung kebebasan perempuan?
Seberapa kuat koar dan kelakar di media sosial memerangi aturan-aturan yang mencekik perempuan. Seberapa besar peluang sebuah tagar mosi tidak percaya bisa menghadirkan ruang-ruang laktasi di gedung pabrik si borjuasi. Jika bukan dengan pengetahuan dan langkah strategis serta pergerakan yang realistis semua itu hanya akan menjadi fatamorgana.
Semoga hari Kartini yang diperingati setiap 21 April ini tidak hanya sekadar menjadi peringatan momentuman belaka, melainkan sebagai pengingat agar kita tetap dinamis dan progresif untuk emansipasi. Apa guna sederet pengetahuan di kepala, bila hanya sebatas sampai pada jari-jari yang bergerilya di layar ponsel.(rls)
Komentar