Topikinformasi.com — Jakarta — Ketua Departemen Ekonomi & Pembangunan DPP PKS, Farouk Abdullah Alwyni, menilai bahwa intervensi pemerintah dalam mengejar target pemberian vaksin booster kepada anggota masyarakat sebagai kebijakan yang kebablasan.
“Kebijakan protokol kesehatan terkini terkait kewajiban vaksin booster untuk WNI pelaku perjalanan luar negeri yang dituangkan dalam Surat Edaran Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Nomor 25 Tahun 2022 yang berlaku mulai Kamis, 1 September 2022, menunjukkan pemerintah benar-benar mempunyai pemahaman yang cetek terkait pekembangan virus Covid-19, vaksin Covid-19, maupun kebijakan-kebijakan negara-negara lain secara internasional,” ujar Farouk Abdullah Alwyni di Jakarta Senin (05/09/2022).
Sejak munculnya varian delta, dan terlebih lagi dengan varian omicron, vaksin-vaksin Covid-19 yang ada sekarang ini terbukti tidak dapat mencegah seseorang terkena Covid-19 maupun menularkannya. Disamping itu sejak varian omicron menjadi dominan, mayoritas kasus adalah ringan, dan tingkat hospitalisasi juga sudah sangat kecil. Mantan Direktur Bank Muamalat ini menyatakan bahwa tidak ada kondisi emergency yang bisa menjadi legitimasi pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang bersifat memaksa terkait vaksin booster.
Ditengah semakin banyaknya negara yang mencabut berbagai aturan restriktif terkait vaksinasi, kita malah maju terus dengan kebijakan booster yang dipaksakan. “Pemerintah harusnya menghargai kebebasan medis (medical freedom) setiap anggota masyarakat, vaksinasi adalah hak, apalagi booster, jadi pemerintah harus mawas diri bukan malah menerapkan kebijakan tirani medis (medical tyranny) seperti yang terjadi saat ini,” tambah alumni New York University ini.
Malaysia sejak tanggal 1 Agustus 2022 sudah tidak lagi menerapkan aturan terkait vaksin untuk para pendatang, juga Singapura menyusul pada tanggal 29 Agustus 2022, secara keseluruhan mayoritas negara-negara didunia sudah tidak lagi mensyaratkan kebijakan vaksin Covid-19 untuk memasuki wilayahnya (sekitar140 negara).
“Apa yang terjadi sekarang ini sepertinya menjadikan Indonesia
Sebagai instrument Big Pharma, bagaimana tidak, pemerintah memberlakukan banyak kebijakan yang cenderung memaksa dalam rangka meningkatkan persentase penggunaan vaksin booster, mulai dari aturan terkait perjalanan dalam dan luar negeri sampai dengan masuk mall”, ungkap Farouk.
“Seharusnya sejak awal, pemerintah cukup menerapkan kebijakan voluntary vaccination, terlebih lagi Indonesia adalah sekedar negara konsumen vaksin Covid-19. Esensinya adalah jika negara-negara produsen vaksin seperti Inggris dan mayoritas negara bagian di Amerika Serikat saja menjalankan program voluntary vaccination, mengapa Indonesia yang sekedar negara konsumen harus melakukan pendekatan ‘mandatory vaccination’,” ucapnya.
Farouk menerangkan bahwa pendekatan ‘mandatory vaccination’ buruk dari perspektif ekonomi politik karena dapat menjadikan negara menjadi instrument perusahaan-perusahaan farmasi besar. Program ‘mandatory vaccination’ dapat menciptakan kolusi yang berbahaya antara oknum-oknum pemerintahan dan ‘Big Pharma.’
“Hal ini sangat berbahaya karena virus-virus atau penyakit-penyakit baru bisa terus bermunculan, dan setelah itu akan muncul para ‘juru selamat’ yang menawarkan vaksin, yang kemudian pemerintah akan memaksakan rakyatnya. Rakyat banyak bisa dijadikan obyek eksperimen vaksin-vaksin dari luar atas nama kesehatan ataupun penanggulangan pandemik, sedangkan sekelompok oknum aparat negara justru memainkan peran rent seeker dan menjadi instrument dari Big Pharma,” jelas mantan senior professional Islamic Development Bank Jeddah ini.
Sebagai informasi, alumni program MBA the University of Birmingham ini membeberkan bahwa pendapatan Pfizer hampir dua kali lipat di tahun 2021 dan mencapai USD 81 milyar, dan diperkirakan akan mencapai lebih dari USD 100 milyar di tahun 2022. Dalam waktu yang sama, Partner Jerman dari Pfizer, BioNTech, mencatatkan pendapatan hampir EURO 19 milyar di tahun 2021, hampir 40 kali lipat tahun sebelumnya, dan sekarang masuk dalam daftar 50 perusahaan farmasi terbesar dunia. Produsen vaksin Covid-19 lainnya, Moderna, membukukan pendapatan hampir USD 18,5 milyar, 23 kali lebih besar dibandingkan pendapatan di tahun 2020. Hal yang sama juga terjadi untuk Sinovac, produser vaksin dari China.
yang membukukan pendapatan sebesar USD 19,4 milyar, 38 kali lebih besar dari tahun 2020.
Big Pharma memproduksi sebuah produk, menjualnya secara bebas di pasar, dan mendapatkan keuntungan adalah hal yang biasa. Hal yang tidak biasa dan berbahaya saat ini adalah ketika negara berdaulat menjadi instrument pemaksa bagi rakyat untuk menggunakan produk yang dihasilkan oleh Big Pharma.
“Hal ini tidak boleh terjadi, negara tidak boleh menjadi instrument Big Pharma”, tegas Farouk.
Di Amerika Serikat sendiri, Partai Republik bersiap untuk menginvestigasi Chief Medical Adviser Biden Administration, Dr. Anthony Fauci di bulan Desember 2022 jika menjadi mayoritas di kongres (House of Representatives) Amerika Serikat setelah midterm election yang dijadwalkan di bulan November 2022. Fauci sendiri memang telah menyatakan bahwa dirinya akan mengundurkan diri di bulan Desember 2022. Fauci dianggap sebagai arsitek dari kebijakan lockdown yang menghancurkan banyak bisnis kecil dan menengah, mandatory masking, dan juga mandatory vaccination. Walaupun di wilayah yang dikuasi Partai Republik pada umumnya tidak menerapkan kebijakan-kebijakan ini.
“Segenap pemegang kebijakan terkait Covid-19, khususnya yang berkenaan dengan pemaksaan vaksin, harus berhati-hati, pada waktunya tidak tertutup kemungkinan anda semua akan diinvestigasi, terkait pelanggaran informed consent sebagai standard medis internasional, persoalan efek samping parah dari vaksin yang secara internasional mulai terangkat dan cenderung ditutupi di Indonesia, dan juga kemungkinan menjadi instrument dari Big Pharma, belum lagi berapa banyak bisnis yang dihancurkan akibat berbagai kebijakan PPKM yang tidak kunjung berakhir”, tutup Farouk.
(Lina) Biro Jakarta
Komentar