Catatan Pinggir:
Bahtiar Parenrengi
TOPIKINFORMASI.COM – Bone Pekan terakhir Ramadhan selalu diramalkan dengan ungkapan populer,
Tunjangan Hari Raya (THR).
Percakapan yang menjadi trend disegala umur. Biasannya sangat memikat. Tak mengenal umur pun tak mengenal waktu. Entah saat bekerja, santai atau saat berada di pasar, warung, masjid, super market dan yang lainnya.
THR merupakan salah satu hal yang dinantikan para pekerja menjelang Hari Raya Idul Fitri. Para pekerja seolah tak bersemangat ketika tunjangan itu tidak nongol. Ibarat berbuka puasa tanpa es buah atau jalangkote. Seolah terasa hambar.
Pembicaraan THR menjadi topik hangat yang tidak ada habisnya. Pembicaraan terus menerus menarik. Entah di group WA atau pun di FB. Keseruan yang terkadang pada akhirnya saling mengeluarkan dalil pembenaran.
Umur bukan penghalang untuk membicarakannya. Kalangan anak-anak juga tak kalah seru. Selalu menjadi bahan menarik saat bermain dengan anak sebayanya. Menceritakan tentang perjuangan mendapatkan THR maupun jumlah isi amplop. Semua menjadi pemicu kegembiraan sambil menahan rasa lapar dan dahaga.
THR telah menjadi ungkapan yang begitu mudah diungkap disetiap ramadhan. Akronim ini menjadi sangat populer dibulan yang penuh berkah ini.
Akronim ini juga membuat banyak orang menjadi kreatif membuat kata bijak, kata penyemangat dan kata-kata lucu. Seperti, Kamu pilih mana? Tunjangan Hari Raya atau Tunangan Hari Raya? Kalau ada bos yang belum bayar THR karyawannya. Tenggelamkan! Cie, yang senyum-senyum pas dapat THR, terus cemberut pas harus bayar utang.
Kini, Tunjangan menjelang Hari Raya ini telah menjadi sesuatu keharusan. Dan dalam dunia usaha, biasanya diberikan kepada pekerja yang sudah bekerja selama satu tahun adalah sejumlah satu kali gaji. Sementara bagi pekerja yang kurang dari setahun, THR akan dibayarkan dengan perhitungan secara proporsional. Atau paling tidak, pihak perusahaan membayarkan THR dalam bentuk kebutuhan pokok.
THR memiliki sejarah yang dihiasi pro dan kontra. Seperti yang
dilansir sptsk-spsi.org, bahwa sejarah THR bermula di Indonesia pada 1951. Istilah itu diperkenalkan Perdana Menteri dari Masyumi, Soekiman Wirjosandjojo, sekaligus ketua kabinet yang berkuasa kala itu, Kabinet Sukiman Suwirjo. Salah satu program kerja yang diusung kabinet ini dalam rangka meningkatkan kesejahteraan para pegawai dan aparatur negara (pamong pradja atau PNS) yaitu tunjangan.
Kaum Buruh menjadi kelompok yang memprotes kebijakan tunjangan ini. Para buruh melakukan aksi guna menuntut kepada pemerintah supaya mengeluarkan kebijakan yang sama untuk perusahaan kepada para pekerjanya. Hal ini dilakukan sebab buruh merasa ikut serta berkontribusi terhadap perekonomian nasional.
Akhirnya, pemerintah menerbitkan peraturan agar perusahaan bersedia memberikan THR kepada para karyawannya. Sejak saat itu, istilah THR populer di Indonesia. Meskipun demikian, kebijakan resmi mengenai THR resmi dikeluarkan sekian tahun berikutnya sesudah rezim berganti.
Pada Orde Baru, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan. Peraturan ini menguatkan payung hukum para pekerja mengenai memperoleh THR. Saat masa Reformasi, peraturan tersebut disempurnakan melalui Undang-Undang Nomot 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan dengan salah satu isinya mengatur THR.
Ramadhan, bulan penuh berkah. Bulan yang didalamnya mengajak kita untuk terus berbuat baik. Bulan yang mengantar kita untuk menahan cobaan. Hingga dalam konteks ini, kita diharuskan untuk berjihad menahan hawa nafsu.
Menahan hawa nafsu adalah sebuah jihad. Tentu pengertiannya bukan hanya mengangkat senjata, untuk berperang. Tapi juga menahan kemauan yang tak seharusnya dilakukan. Olehnya itu, penegasan puasa ramadhan adalah perolehan taqwa.
Ada proses untuk mencapai nilai ketaqwaan itu. Memiliki aturan. Ada jalan. Sehingga untuk mencapainya, harus ditunjang dengan berbagai perangkat ibadah.
Untuk berhari raya, sebagai hari kemenangan maka seluruh penunjang itu harus berfungsi secara baik. Ada tunjangan, THR berupa perangkat ibadah. Ibadah itulah yang menjadi Tunjangan Hari Raya kita, agar usai Ramadhan bisa menjadi manusia suci. Manusia yang meraih kemenangan, sebagai manusia bertaqwa. Bak manusia yang dilahirkan kembali, bersih dari dosa. Semoga.
Komentar